Jakarta, Beritasatu.com – McAfee Enterprise dan FireEye merilis temuan Cybercrime in a Pandemic World: The Impact of Covid-19, yang menunjukkan bahwa selama selama pandemi, 89% perusahaan di Asia Tenggara mengalami peningkatan ancaman siber dan sebanyak 81% mengalami downtime akibat insiden siber di waktu puncak liburan atau perayaan tertentu.
Meski para profesional TI tahu bahwa ancaman siber telah meningkat tajam, temuan tersebut membuktikan perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara belum secara efektif memprioritaskan keamanan selama Covid.
Catatan mereka menyebutkan bahwa ada peningkatan aktivitas serangan di online/web lebih dari 60%, tapi 31% justru melakukan pengurangan anggaran teknologi dan keamanan. Kemudian 62% mengalami downtime karena masalah siber, dengan kerugian lebih dari US$ 100.000 dan lebih dari 90% menyadari bahwa mempertahankan tim keamanan/SOC yang lengkap menjadi lebih sulit selama periode puncak.
Seiring datangnya musim liburan pada November-Desember 2021, dan menurunnya level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di kota-kota besar sebelum musim liburan maka industri e-commerce, ritel, travel, rantai pasokan dan logistik diprediksi mengalami peningkatan aktivitas konsumen dan bisnis yang tajam. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap ancaman siber sekaligus meningkatkan risiko kebocoran data bisnis, karyawan, dan konsumen.
“Semua bisnis dalam berbagai skala harus mengevaluasi dan memprioritaskan teknologi keamanan agar tetap terlindungi, terutama selama puncak musim liburan. Pendekatan tradisional tidak lagi cukup – 94% perusahaan yang kami survei berencana untuk meningkatkan kesiapan sibernya secara keseluruhan – dan bisnis membutuhkan arsitektur keamanan terintegrasi serta pendekatan yang selalu siap untuk mencegah, melindungi, dan bereaksi terhadap ancaman siber masa kini,” ujar CEO McAfee Enterprise & FireEye, Bryan Palma dalam siaran pers Selasa (16/11).
Selain peningkatan belanja konsumen, musim liburan juga berdampak signifikan terhadap industri lain yang terkait. Berbagai keterbatasan, mulai dari tenaga kerja dan stok barang terutama elektronik, menciptakan urgensi bagi berbagai persusahaan untuk menyusun rencana keamanan untuk secara efektif menghalau dan menindaklanjuti ancaman.
E-commerce dan Ritel
Menurut studi 2021 oleh Facebook dan Bain & Company, tingkat penjualan e-commerce di Asia Tenggara akan mencapai dua kali lipat hingga US$ 254 miliar pada 2026. Bahkan dengan adanya penurunan level PPKM dan pembukaan kembali tempat keramaian, pergeseran ke belanja online akan terus meningkat. Berkendara di musim liburan dan penyelenggaraan festival penjualan besar akhir tahun, seperti 11.11 kemungkinan mengalami lonjakan traffic dan penjualan e-commerce, menjadikan industri ini target utama penjahat siber.
Sedangkan menurut dasbor McAfee Enterprise Covid-19, industri ritel global menyumbang 5,2% dari total ancaman siber yang terdeteksi. Ancaman ini termasuk kredensial pembayaran dan penyimpanan cloud yang disusupi, serta bentuk penipuan dan pencurian ritel lainnya.
Wisata
Ancaman siber bukanlah hal baru bagi industri wisata – termasuk bandara, maskapai penerbangan, situs perjalanan dan aplikasi menumpang kendaraan telah menjadi korban di tahun-tahun sebelumnya. Namun, industri ini berada dalam posisi bertahan karena adanya pembatasan perjalanan dan PPKM. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Asia Tenggara dapat menderita kerugian hingga 8,4% dari produksi domestik bruto (PDB) akibat pandemi. Strategi Pemerintah Indonesia menurunkan level PPKM di kota-kota besar, dan dibukanya pintu masuk bagi turis asing dari beberapa negara, diperkirakan bakal merangsang minat turis yang sudah lama memendam keinginan untuk jalan-jalan, meningkatkan penjualan tiket dan booking lewat online, yang merupakan kesempatan bagi para penjahat siber.
Logistik & Rantai Pasokan
Sementara itu Laporan Ketahanan Rantai Pasokan Global BCI 2021, menunjukkan 27,8% perusahaan melaporkan lebih dari 20 gangguan rantai pasokan selama 2020 atau naik dari 4,8% pada 2019. Berkurangnya kapasitas manufaktur dan logistik serta tenaga kerja, seiring meningkatnya permintaan barang, telah menciptakan vektor serangan yang sempurna bagi penjahat siber: infrastruktur yang lemah dan rentan untuk ditembus. Para pengatur rantai pasokan harus mengidentifikasi risiko, memahami potensi efek hilir dari serangan siber dan merencanakan tindakan sehingga dapat bergerak cepat jika terjadi insiden.
“Tantangan utama yang berdampak pada bisnis secara global menciptakan katalis sempurna bagi penjahat siber untuk memanfaatkannya. Untuk melindungi pendapatan mereka selama lonjakan aktivitas liburan, sekaranglah saatnya bagi perusahaan dan bisnis komersial untuk memastikan bisnis mereka sudah dilengkapi dengan arsitektur keamanan siber yang diperlukan untuk mengatasi ancaman yang semakin agresif dan inovatif,” kata Palma.
Palma menambahkan, ada beberapa cara bagi perusahaan agar menjadi lebih proaktif dan siap untuk menghadapi kejahatan siber, seperti menerapkan langkah-langkah keamanan dan persyaratan keamanan siber di seluruh industri, memberikan pelatihan kesadaran keamanan virtual untuk karyawan, dan mengembangkan rencana pencegahan serta tanggapan. Selain itu, perusahaan dan bisnis komersial dapat menerapkan keamanan berbasis cloud dengan MVISION Unified Cloud Edge (UCE) dan FireEye Extended Detection and Response (XDR).
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: BeritaSatu.com