Istanbul, Beritasatu.com- Presiden baru Interpol dituduh pernah melakukan penyiksaan yang dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Jenderal polisi Uni Emirat Arab (UEA) bernama Ahmed Nasser Al Raisi terpilih sebagai Presiden Interpol pada Kamis (25/11/2021).
Penunjukan Al Raisi itu menyusul dana besar dari UEA untuk badan yang berbasis di Lyon, Prancis. Di sisi lain, ada tuduhan bahwa Abu Dhabi telah menyalahgunakan sistem Interpol yang disebut "pemberitahuan merah" bagi para tersangka untuk menganiaya pembangkang politik.
“Jenderal Emirat Ahmed Nasser Al Raisi terpilih setelah tiga putaran pemungutan suara. Dia menerima 68,9% suara yang diberikan oleh negara-negara anggota,” bunyi pernyataan Interpol.
Setelah pemilihan presiden Interpol, Raisi mencuit bahwa dia akan membangun organisasi yang lebih transparan, beragam, dan tegas yang bekerja untuk memastikan keamanan bagi semua.
Namun, Raisi tidak menanggapi tuduhan itu, tetapi mengatakan UEA telah menjadi salah satu negara teraman di dunia.
Keluhan "penyiksaan" diajukan terhadap jenderal Emirat dalam beberapa bulan terakhir di Prancis dan Turki, yang menjadi tuan rumah sidang umum Interpol di Istanbul minggu ini.
Raisi, kepala pasukan keamanan UEA, akan mengambil peran sukarela sebagian besar seremonial dan paruh waktu untuk masa jabatan empat tahun.
Sekretaris Jenderal Interpol Juergen Stock menangani organisasi sehari-hari. Dia diangkat untuk masa jabatan lima tahun kedua pada 2019.
Kim Jong-yang dari Korea Selatan adalah presiden sejak penangkapan pendahulunya Meng Hongwei pada 2018 di Tiongkok, saat ia menjabat sebagai wakil menteri keamanan publik.
Satu-satunya kandidat lain untuk jabatan itu adalah Sarka Havrankova dari Republik Ceko, seorang perwira veteran yang mengawasi kerja sama internasional Ceko dalam masalah kepolisian.
Penunjukan lain untuk komite eksekutif Interpol pada Kamis (25/11) yakni pejabat keamanan publik senior Tiongkok, Hu Binchen, juga memicu kemarahan.
Tiongkok mendapat kecaman yang meningkat dari kelompok hak asasi dan beberapa pemerintah di tengah klaim bahwa tindakan terhadap Uyghur dan kelompok minoritas lainnya di wilayah barat laut Xinjiang sama dengan genosida.
Kelompok hak asasi Kongres Uyghur Dunia menggambarkan pemilihan itu sebagai "sangat mengecewakan".
Dalam satu surat bulan ini, 50 anggota parlemen dari 20 negara yang tergabung dalam Inter-Parliamentary Alliance on China (IPAC) memprotes pencalonannya.
Parlemen memperingatkan pemilihannya akan memiliki "konsekuensi besar bagi keselamatan dan kesejahteraan aktivis hak asasi manusia Tiongkok, Hong Kong, Taiwan dan Tiongkok yang tinggal di luar China serta diaspora Tibet dan Uyghur".
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: BeritaSatu.com