Dubai, Beritasatu.com- Sejumlah mantan pejabat Afganistan yang melarikan diri hidup mewah dalam pengasingan di kota Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) dan Amerika Serikat (AS). Pada saat yang sama, jutaan rakyat Afghanistan hidup dalam kesengsaraan.
Mantan pejabat Afghanistan, termasuk pembantu mantan presiden Ashraf Ghani, menghabiskan jutaan untuk membeli properti di Dubai dan AS selama tahun-tahun terakhir pemerintah yang didukung Barat, menurut laporan terbaru oleh Wall Street Journal.
Seorang pengawas AS mengatakan awal bulan ini bahwa jutaan dolar hilang dari istana presiden dan Direktorat Keamanan Nasional selama pengambilalihan Taliban Agustus lalu. Uang itu tetap tidak terhitung, meskipun Ghani tidak mungkin melarikan diri dengan jutaan uang tunai, menurut pengawas.
Mantan presiden Ashraf Ghani pindah ke hotel bintang lima St Regis yang terkenal di dunia di Abu Dhabi setelah meninggalkan Afghanistan. Dia sekarang tinggal di UEA.
Puluhan ribu warga Afghanistan, yang bekerja untuk pasukan AS dan NATO, diterbangkan saat pasukan AS menarik diri dari negara itu setelah 20 tahun perang. Namun banyak dari mereka terjebak di pusat pemrosesan pengungsi di seluruh dunia dengan masa depan yang tidak pasti.
Laporan korupsi dalam pemerintahan Afghanistan dan penyelewengan dana di negara yang sebagian besar bergantung pada bantuan itu menyoroti bagaimana warga Afghanistan – baik pengungsi maupun yang ada di negara itu – telah gagal dalam kepemimpinan mereka.
Khalid Payenda, menteri keuangan Afghanistan terakhir, yang disebutkan dalam laporan Wall Street Journal karena memiliki properti di AS, telah membantah tuduhan tersebut. Dia telah membagikan catatan keuangan dan sumber asetnya di akun Twitter-nya.
Payenda, seorang pelapor pada beberapa laporan yang mengungkap korupsi di pemerintah Afghanistan, mengatakan masalah korupsi Afghanistan telah diketahui secara luas dan bahkan dimanfaatkan oleh banyak jaringan dan pemangku kepentingan.
“Korupsi mewabah dalam arti tidak hanya ada di tingkat nasional tetapi juga di tingkat sub-nasional, dan di semua cabang pemerintah, eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif,” katanya kepada Al Jazeera.
Lebih dari 22 juta warga Afghanistan menghadapi kerawanan pangan, menurut Program Pangan Dunia PBB, ketika negara itu menghadapi keruntuhan ekonomi. Isolasi diplomatik Taliban tidak membantu situasi.
“Saya memberikan tahun-tahun terbaik dalam hidup saya untuk membangun kembali negara ini, untuk mendidik generasi pemikir berikutnya. Dan sekarang di sinilah saya, rentan dan bahkan tidak mampu menghidupi keluarga saya sendiri, sementara mereka yang tidak melakukan apa pun untuk negara hidup nyaman,” kata Mina, seorang profesor universitas yang tak ingin disebutkan namanya.
Mina membangun karier lebih dari 10 tahun, bekerja sebagai profesor yang disegani dan suara terkemuka tentang hak-hak perempuan di Afghanistan. Al Jazeera menyembunyikan nama universitasnya karena alasan keamanan.
Inspektur Jenderal Khusus AS untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) John F Sopko telah menyuarakan keprihatinan serupa dalam peringatan suram pada Juni 2021.
“Korupsi di Afghanistan bukan hanya masalah peradilan pidana. Korupsi sistemik di Afghanistan melampaui itu… ancaman terhadap seluruh misi AS dan upaya internasional di Afghanistan,” katanya, memperingatkan pemerintah Afghanistan untuk “serius” menangani korupsi jika ingin membawa perdamaian abadi bagi rakyatnya.
“Waktu hampir habis,” katanya memperingatkan, selang hanya beberapa minggu sebelum runtuhnya pemerintahan Presiden Ghani di Afghanistan.
Keluhan serupa juga disampaikan Kamaluddin Koshan adalah seorang jurnalis yang berbasis di Kabul sebelum pengambilalihan Taliban. Dia kemudian bekerja menjadi dokter untuk melayani rakyatnya. Namun kini, Koshan hidup sebagai pengungsi di negara tetangga Pakistan yang sering bergantung pada sedekah dan amal.
Koshan, yang pernah menaruh kepercayaan kuat pada demokrasi Afghanistan, adalah satu dari jutaan orang yang kecewa. “Saya tidak punya penghasilan untuk membayar sewa, listrik atau gas. Makanan juga jarang, dan ada hari-hari kami pergi tidur dalam keadaan lapar. Kadang-kadang anak-anak saya meminta buah-buahan dan saya bahkan tidak mampu membelikannya untuk mereka,” katanya, kelelahan terdengar dalam suaranya.
Dalam 20 tahun sebelumnya, kata Koshan, dia telah bekerja keras untuk mencapai setiap tujuan yang dia tetapkan untuk dirinya sendiri.
“Saya secara teratur memberikan suara dalam pemilihan dan mendorong orang lain untuk berpartisipasi, berpikir kita bisa membuat perbedaan. Tapi mereka membohongi kita,” katanya getir.
“Mereka menyuruh kami bekerja untuk negara, bahkan ketika mereka membangun kehidupan di luar negeri, dan meninggalkan kami saat keadaan menjadi lebih buruk,” katanya, merujuk pada pelarian presiden Afghanistan pada 15 Agustus 2021 yang memicu keruntuhan negara itu.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: BeritaSatu.com