Jakarta, Beritasatu.com – Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji menegaskan, pemidanaan terhadap penghina presiden dan/atau wakil presiden di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) hanya bisa dilakukan jika ada aduan dari presiden atau wakil presiden.
Menurut Indriyanto, pasal-pasal terkait dengan penghinaan kepala negara di dalam RUU KUHP jauh lebih demokratis dibandingkan pada KUHP yang berlaku saat ini.
“Dalam KUHP yang ada saat ini, perbuatan penghinaan yang diformulasikan sebagai delik formil menimbulkan sikap dan perbuatan objektif, zakelijk (saklek), konstruktif terhadap pemerintah, simbol negara, bahkan presiden/wakil presiden akan dipandang sebagai penghinaan. Dapat dikatakan bahwa ketentuan ini sebagai penabur kebencian (haatzaai artikelen) yang bersifat tidak demokratis. Inilah yang sekarang dilakukan perubahan (dalam RUU KUHP) sebagai makna yang demokratis, netral, dan moderat. Tidak ada kritikan konstruktif yang dibungkam oleh RUU KUHP,” ujar Indriyanto di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Indriyanto mengatakan, ketentuan yang menjadi polemik terkait aturan penghinaan, yang dianggap sebagai memberangus kebebasan berekspresi, tidaklah argumentatif secara akademik. Perlu dipahami bahwa pengaturan ketentuan tentang “penghinaan” bersifat universal, baik bagi negara-negara yang rerpesentatif anglo saxon/commom law maupun continental/civil law.
Halaman: 1234selengkapnya
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: BeritaSatu.com