Minggu, 26 Maret 2023

Menerawang Abad Kedua NU

Menerawang Abad Kedua NU
Opini: Yanto Bashri

Pengurus Harian LP Ma’arif PBNU

Senin, 20 Februari 2023 | 21:17 WIB

Minggu lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) dengan tema “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan”. Tema ini penting dan menarik karena isu tentang NU telah menjadi episentrum pembaruan politik, keagamaan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan dalam beberapa dekade belakangan dan tidak tergantikan oleh organisasi lain.

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan suara menggelora mengemukakan, wahai bangsa Indonesia selamat datang NU abad kedua. Wahai dunia, selamat datang NU abad kedua. Pidato di Stadion Delta Sidoarjo disambut gemuruh seluruh peserta yang memadati stadion hingga ke jalan-jalan di luar lapangan.

Sejak tahun 1980-an NU merupakan motor lahirnya gagasan-gagasan segar dalam bidang sosial keagamaan. Ketika menjadi ketua umum PBNU (1984-1999), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di antaranya dengan buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, menggagas bagaimana menempatkan Islam dengan agama lain. Dua kata kunci dalam karya ini adalah pluralisme dan pembelaan. Salah satu pembelaan beliau bagi kelompok minoritas, baik langsung maupun tidak langsung, berdampak kritik keras dan cibiran. Karya lainnya adalah Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Khazanah Kiai Bisri Syansuri, Menggerakkan Tradisi Pesantren, dan lainnya.

Gus Dur menjadi gerbong pembaruan pemikiran dan lahirnya tokoh-tokoh muda berkualitas NU. Buku-buku yang ditulis Gus Dur menjadi inspirasi dan referensi utama seluruh level masyarakat di tingkat nasional dan internasional. Inilah di antaranya yang menjadi daya tarik bagi para peneliti dan akademisi dari sejumlah lembaga terhadap NU.

Tentu saja gerakan Gus Dur pada tahun-tahun tersebut tidak dilakukan sendiri. Dalam Cross-Cultural Contexts of Modern Muslim Intellectualism (2007), Michael Feener menyebutkan kiai adalah sekelompok ulama yang dilatih dalam jaringan pesantren yang umumnya berafiliasi dengan organisasi "tradisional" Nahdlatul Ulama (NU). Mereka menguasai bahasa Arab dan keilmuan Islam klasik, jauh lebih besar daripada kelompok Islam lainnya. Bahkan pada 1980-an dan 1990-an, tokoh NU, seperti Sahal Mahfudh dan para pemimpin pesantren lainnya, mulai mengintegrasikan wawasan analitis dari ilmu-ilmu sosial ke dalam suatu diskusi yang menghidupkan tradisi keilmuan pesantren, khususnya dalam bidang usul al-fiqh.

Mereka juga aktif menjajaki kemungkinan media baru untuk mengembangkan dan mendistribusikan ide-idenya lebih lanjut. Sebagaimana dilakukan para intelektual dan kelompok mmuslim lainnya, para kiai dan generasi muda NU memanfaatkan media cetak, radio, televisi, broadcast, dan situs web, untuk menyampaikan pesan masing-masing.

Khoirun Niam menggambarkan mereka sebagai ulama-intelektual-pembaru (ulama-intellectuals-reformers). Pada masa ini lembaga kajian banyak berdiri dan menguat, di antaranya P3M, LKiS, Lakpesdam NU, dan organisasi kepemudaan, yang ditandai dengan interpretasi tradisi Islam yang lebih bebas. Pada medio 1990-an, gerakan pembaruan NU meluas ke gerakan politik. Dalam Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam & politics in Indonesia (2009), Robin Bush menyebutkan pada masa ini telah berkembang aspirasi di kalangan jemaah yang menuntut NU terlibat lebih aktif dalam proses politik.

Keinginan itu difasilitasi oleh KHM Cholil Bisri ketika berhasil mengumpulkan 70 kiai karismatik dari tanah Jawa, Kalimantan, dan Aceh di Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang untuk membahas tuntutan NU yang semakin sulit dibendung. Dalam Constructions of Religious Authority in Indonesian Islamism: The Way and the Community' Re-imagined, Feener menggambarkan, pertemuan itu berlangsung tanpa diskusi, karena seluruh kiai sepakat dengan ide KHM Cholil Bisri untuk mewadahi warga NU dalam bidang politik.

Perjuangan ini menjadi peletak pilar-pilar politik kebangsaan NU yang menyadarkan kiai dan generasi muda untuk memiliki kapasitas sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan. Salah satu kontribusi gerakan politik NU adalah naiknya Gus Dur menjadi presiden, serta santri menjadi menteri, birokrat, dan anggota TNI/Polri. Generasi baru NU ini adalah aktivis LSM dan aktif dalam berbagai lembaga dalam upaya memperbaiki kondisi sosial di Tanah Air (Fox, 2004: 12).

Dalam istilah Florian Pohl (2006), NU memiliki struktur organisasi yang disebut rich tapestry. Struktur organisasi ini kayak permadani yang mendorong iklim politik yang terbuka dan inklusif melalui kepemimpinan yang secara konsisten menegaskan komitmen terhadap reformasi demokrasi dan partisipasi dalam proses politik, menentang pendirian negara Islam, dan mempromosikan pembentukan masyarakat sipil muslim.

NU memiliki pesantren yang tersebar di hampir wilayah Indonesia. Tidak kurang dari 50 universitas dan 21.000 lembaga pendidikan dasar dan menengah kini berkembang menjadi lembaga yang mengadopsi teknik pengajaran yang diakui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek, melalui integrasi kelembagaan sekolah formal. Bahkan, tidak sedikit pesantren dan satuan pendidikan LP Ma’arif NU yang mengintegrasikan kurikulum pendidikan di luar negeri.

Kembali ke pembahasan Harlah Satu Abad NU, bagaimana gambaran NU di abad kedua? Apakah NU semakin memperkokoh posisinya sebagai motor penggerak pembaruan politik dan demokrasi? Ataukah peran ini bisa diambil alih oleh Islam konservatif yang sekarang ini terus berusaha mencari tempat di Indonesia?

Penting dicatat bahwa PBNU kini memiliki 20 lembaga dan badan, seperti Lembaga Kesehatan, LP Ma’arif NU, Badan Pengembangan Inovasi Strategis, Badan Pengembangan Administrasi dan Kader, Badan Pengembangan Jaringan Internasional, dan lainnya. Kelembagaan ini diperkuat oleh badan otonom, seperti Muslimat NU, Fatayat NU, IPNU, IPPNU, ISNU, dan masih banyak lagi. Meski memiliki peran berbeda-beda, seluruh lembaga dan badan ini selalu menjalankan tugas sesuai arahan NU dan kebutuhan zaman.

Dalam Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (1996), Greg Fealy menyebutkan NU belakangan ini telah melahirkan sejumlah intelektual muda yang diilhami oleh etika sosial Islam untuk mencari alternatif pembangunan. Ulama muda terpelajar dan "aktivis" ini tumbuh dari kepemimpinan baru NU di semua tingkatan organisasinya. Stereotipe NU sebagai "organisasi gerontokrasi" para ulama perdesaan dan tidak canggih tampaknya menjadi tidak tepat dalam realitas NU saat ini.

Generasi-generasi muda ini yang sekarang bertugas membawa NU memasuki abad keduanya. Karena itu, jika ada peneliti menilai tradisionalisme agama dan radikalisme politik dalam NU sebagai paradoks, itu adalah ilusi. Pasalnya, radikalisme tidak dapat hidup berdampingan dengan tradisionalisme.

Saksikan live streaming program-program BTV di sini


Bagikan

BERITA TERKINI

1034539
1034627
1034619
1034629
1034625
1034626
1034624
1034622
1034620
1034617
Loading..
Terpopuler Text

Foto Update Icon