Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?

Ketua Dewan Ideologi DPP PA GMNI dan pemerhati masalah sosial.
Rabu, 13 September 2023 | 18:22 WIBApabila kita membuka kembali kitab tambo atau sejarah pada era Presiden Sukarno dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, maka akan jelas tampak betapa kedua presiden pada masa jabatannya selalu menerima kritik, bahkan cacian, serta "bogem mentah" yang menghujat kebijakan mereka tanpa peduli mana yang patut dikritik atau tidak. Prinsipnya, apa pun yang dikemukakan kedua Presiden tersebut tidak ada benarnya. Semua yang dihasilkan akan merugikan rakyat, bangsa, dan negara, serta tidak satu pun bermanfaat.
Apabila kita teliti satu per satu siapa biang keroknya, kita akan menemukan pelaku yang sama, yaitu kekuatan-kekuatan adikuasa dunia, terutama Amerika Serikat, dengan segala metode yang sangat canggih. Contohnya, berapa puluh kali Presiden Sukarno dituduh sebagai seorang komunis, terutama di media massa Amerika Serikat, khususnya majalah Times, Life, dan News Week.
Ada yang mengatakan Sukarno seorang komunis, juga antek Tiongkok dan Uni Soviet. Ada juga yang menyebar-nyebarkan berita bahwa Sukarno gemar daun muda dan tidak tahan melihat wanita.
Pengalaman penulis sebagai putra sulungnya, semua itu salah kaprah dan dilatarbelakangi kepentingan politik kaum nekolim. Menurut hemat penulis, Sukarno adalah seorang seniman yang amat mengagumi hal-hal yang indah yang menjadi ciptaan Allah SWT. Sukarno adalah tipe lelaki sejati!
Bung Karno menganggap perlakuan pers Barat tidak lebih sebagai antek kekuatan-kekuatan nekolim yang fungsinya hanya seperti paper tissue which one uses once and then throw away atau tisu yang dipakai satu kali saja kemudian dibuang sebagai sampah. Apa yang terjadi terhadap Bung Karno mendapat reaksi kontra dari media massa negara-negara sahabat Tiongkok, Kamboja, Korea Utara, juga Vietnam Utara. Media massa mereka merasa penghinaan terhadap Bung Karno sama saja menghina mereka. Reaksi yang paling keras datang dari Kamboja yang dipimpin Pangeran Norodom Sihanouk.
Walaupun hasil karyanya kerap kali dipelintir oleh media Barat, Bung Karno tetap terbuka untuk diwawancarai mereka.
Kritik tajam datang ketika Bung Karno membuat dekrit pada 5 Juli 1959, terutama diberlakukannya demokrasi terpimpin yang mengurangi ruang gerak mereka dengan peraturan-peraturan ketat dibarengi sanksi larangan beredar di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan penulis: apakah dalam sistem demokrasi liberal kapitalistik, seorang presiden/kepala negara tidak perlu dihormati serta bisa dihina dan dikritik sesuka hati oleh media Barat tanpa etika sedikit pun?
Perlakuan Media Massa di Era Reformasi
Apabila di era demokrasi terpimpin, wibawa dan kehormatan presiden sangat dijaga, tidak demikian di era reformasi yang memberlakukan sistem demokrasi liberal kapitalistik, layaknya demokrasi terpimpin yang pernah dilaksanakan di Indonesia.
Apabila kita amati dan ikuti dengan saksama, kritik, cemooh, dan penghinaan terhadap Presiden Jokowi mirip dengan kejadian pada era Bung Karno sebelum demokrasi terpimpin berlaku dan UUD 1945 dijalankan lagi. Sejumlah instruksi presiden saat ini mendapat kecaman media dan tokoh-tokoh politik yang berseberangan. Mereka menganggap apa-apa yang dikerjakan Jokowi salah dan merugikan bangsa dan negara. Misalnya, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), larangan ekspor bahan baku mentah, hilirisasi, termasuk persetujuan Jokowi terhadap Gibran yang dicalonkan PDI Perjuangan sebagai wali kota Solo saat itu. Beberapa media heboh dan menghujat Jokowi habis-habisan. Mereka beranggapan Presiden Jokowi sedang membangun dinasti dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
Bagi penulis, hujatan dan kritik dari media dan tokoh politik adalah cerminan sikap ke kiri-kirian dan radikal yang ujung-ujungnya hanya menimbullkan suasana kaos. Belum lagi, saat ini hampir seluruh tokoh politik dan partai-partai dalam keadaan demam capres-cawapres. Tuduhan murahan secara gencar dilancarkan untuk menghantam wibawa dan kehormatan presiden/kepala negara saat ini. Berbeda sikap dengan Bung Karno, Jokowi dapat memaklumi kritik dan hujatan tidak senonoh terhadap dirinya.
Jokowi mengganggap hal tersebut biasa yang harus dimaklumi oleh seorang kepala negara, walaupun secara yuridis jelas ada peraturan yang melarang menghina ataupun menghujat simbol-simbol negara, seperti bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya Presiden. Jokowi tidak bereaksi sebagaimana Bung Karno. Namun, apa mau dikata, karena Jokowi adalah seorang pemimpin yang bekerja dengan langgam Solo, sedangkan Bung Karno menggunakan langgam Jawa Timur-an. Meski demikian, keduanya memiliki kesamaan, yaitu ikhlas bekerja, bahkan menderita demi bangsa dan negara serta langgengnya dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
BERITA TERKINI
Indekos Diduga Lokasi Prostitusi, Satpol PP Baru Cek Perizinan setelah Digerebek Emak-emak
Gara-gara Lihat Festival Layang-layang, Bocah di Ponorogo Nyaris Kehilangan Mata
Asian Games 2022: Jonatan dan Ginting Dituntut Rileks, Rehan/Lisa Harus Pede
3
Penutupan Rakernas, PDIP Luncurkan Program Beasiswa Megawati Fellowship
B-FILES


ASEAN di Tengah Pemburuan Semikonduktor Global
Lili Yan Ing
Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin