Pemerintah Harus Bijak Terapkan Penghapusan Tunjangan Kehormatan Guru Besar
Jakarta - Menteri Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir belum lama ini telah mengeluarkan kebijakan berupa Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.
Permenristekdikti tersebut mendorong para dosen dan guru besar menghasilkan karya tulis berstandar nasional maupun internasional. Bagi yang tidak memenuhi peraturan akan diperhentikan tunjangan profesi bagi dosen dan kehormatan untuk guru besar.
Menyikapi Permenristekdikti tersebut, rektor Univeristas Trilogi, Prof Asep Saefuddin mengatakan, pemerintah harus bijak dalam melakukan penerapan di lapangan. Sebab tugas guru besar setiap wilayah dan perguruan tinggi berbeda. Tercatat masih banyak guru besar khususnya bagi perguruan tinggi yang berada di wilayah garis depan lebih fokus mengajar. Para guru besar lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengejar daripada menulis karya ilmiah.
"Pemerintah harus bijak menerapkan permenristekdikti ini. Harus diterapkan berdasarkan klaster supaya tidak mengorbankan guru besar, karena guru besar masing- masing perguruan tinggi tugasnya berbeda," kata Asep saat diskusi bersama Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) di Fx Senayan, Jakarta, Kemarin.
Dijelaskan Asep, Permenristekdikti No 20 ini, tidak dapat diberlakukan untuk semua perguruan tinggi. Pemerintah harus bijak dan kreatif. Dalam hal ini, kata Asep, penerapan permenristekdikti harus dilakukan berdasarkan klaster.
Klaster yang dimaksud bukan untuk perwilayah tetapi berdasarkan tingkat perguruan tinggi. Misalnya berstatus baik harus dibanding dengan yang serupa dalam penerapan.
Asep juga mengatakan, berdasarkan persyaratan yang ditentukan. Permenristekdikti nomor 20 ini hanya pantas diterapkan di perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH). Sebab PTNBH memiliki jumlah dosen dan guru besar yang seimbang. Tidak ada permasalahan kekurangan dosen. Guru besar fokus akan riset dan penelitan, tidak dibebankan tugas mengajar.
Guru besar statistik lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga menuturkan, jika pemerintah menyamaratakan penerapan maka tidak ada keadilan dan mencederai guru besar. "Guru besar yang ada di perguran tinggi di daerah tiga T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar), mereka memiliki beban mengajar. Jadi jika disamaratakan akan tidak adil. Ini mencederai guru besar. Seolah-olah tidak produktif. Padahal kasusnya berbeda. Jadi Permenristekdikti ini untuk PTNBH silakan saja tapi jangan disamaratakan untuk semua guru besar. Harus liat klasternya," pungkas Asep.
Asep juga menegaskan, pemerintah harus jadikan menulis itu budaya. Bukan paksaan. Pasalnya jika paksaan tidak akan tertanam budaya publikasi.
Selanjutnya, Asep juga menambahkan, agar hasil publikasi tidak sia-sia. Pemerintah harus mengarahkan agar publikasi fokus pada kebutuhan masyarakat. Contohnya, tentang alam. Banjir dan longsor harus diriset untuk memanfaatkan fenomena alam tersebut.
"Air itu anugerah maka harus diriset sehingga publikasi ini bukan sekedar paper tetapi menjadi tools untuk pengetahuan," ujarnya.
Untuk itu, pemerintah dan kampus harus berkerjasama, sehingga mampu memproduksi ilmu pengetahuan menjadi inovasi yang tepat guna. Menurutnya, jika hanya menghasilkan publisitas, syarat guru besar menghasilkan jurnal tidak memberikan dampak. Peraturan harus dapat menciptakan budaya.
Sementara itu, Sekjen Kemrisrekdikti, Ainun Na'im mengatakan, penerapan Permenristekdikti ini untuk mendorong peningkatan produktivitas melakukan pengembang publistas ilmiah. Sebab sosialisasi dan implementasi Permenristekdikti tersebut melihat indesk global. Tercatat dengan jumlah guru besar yang terus meningkat dari tahun ketahun. Maka harus diimbangin dengan publisitas.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemrisrekdikti, Prof Muhammad Dimyati. Ia menuturkan terbitnya Permenristekdikti untuk mendorong dosen, rektor kepala dan guru besar menghasilkan karya meningkatkan mutu perguruan tinggi.
"Kita mengandalkan jurnal ilmiah untuk peningkatan mutu perguruan tinggi. Maka kita perlu melakukan penelitian untuk menciptakan inovasi," kata Dimyati.
Dengan demikian kata dia, jurnal ilmiah bukan hanya sekedar untuk mendapat tunjangan tetapi bisa sebagai alat untuk memfilter substansi riset. Riset akan terarah sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, hadirnya Permenristekdikti ini, kata Dimyati bukan sekedar masukan tetapi publiaksi ini harus dijadikan budaya. Para dosen dan guru besar dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah yang mendukung ekosistem pembangunan bangsa.
Sumber: Suara Pembaruan
Saksikan live streaming program-program BTV di sini