Jakarta - Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menilai ada sesat cara pikir DPR dengan wacana menghapus pilkada langsung dan mengembalikannya ke pemilihan oleh DPRD. Beberapa argumentasi yang menolak pilkada langsung sangat tidak logis dan mengada-ada.
Pertama adalah argumentasi pilkada langsung melestarikan money politics. "Penyebab money politics bukanlah pilkada langsung, tetapi tingginya hasrat kekuasaan yang bertemu dengan kesenjangan ekonomi dan kurangnya kecerdasan politik. Alih-alih menghapus pilkada langsung, lebih baik dilakukan pembangunan yang berkeadilan dan pendidikan politik yang mencerdaskan," kata Arif di Jakarta, Jumat (16/11).
Argumentasi kedua adalah politik biaya tinggi dalam pilkada langsung dapat menghalangi munculnya calon berkualitas. Menurut Arif, politik biaya tinggi terjadi karena partai-partai politik menetapkan “uang perahu” bagi mereka yang ingin mencalonkan diri. Dengan persoalan seperti itu, yang dibutuhkan adalah revitalisasi peran partai dalam rekrutmen politik untuk menjaring calon yang berkualitas, bukan sekadar calon yang kaya.
"Partai-partai harus mampu melakukan regenerasi kader (sebagai calon pemimpin) secara berkelanjutan," tegas Arif.
Argumentasi ketiga yang dijadikan alasan adalah pilkada langsung memunculkan politik balas budi kepada kantong-kantong pemilih. Bagi Arif, masalahnya adalah tak berjalannya komunikasi politik, terutama lewat dialog, sehingga tidak terbangun relasi kuat antara elite dan massa. Elite mendekati massa pemilih hanya saat menjelang pilkada. Celakanya, cara termudah mendekati para pemilih adalah dengan imbalan uang. "Seharusnya, modal utama elite politik adalah kemampuan untuk mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat," jelas Arif.
Argumentasi keempat yang sering dipakai untuk menolak pilkada langsung yaitu dapat meningkatkan eskalasi konflik horizontal. Menurut Arif, politik seharusnya adalah moderasi konflik. Di sini elite politik memindahkan potensi konflik dalam masyarakat ke ruang-ruang sidang lewat negosiasi. Selama ini, yang terjadi justru sebaliknya yaitu konflik di kalangan elite dipindahkan ke massa. Bukannya menjadi arena penajaman konflik, proses politik harus bekerja sebagai kanal yang memoderasi konflik dengan mendialogkan perbedaan-perbedaan.
Arif, yang juga pengajar komunikasi politik ini, mengkritisi argumentasi bahwa moratorium Pilkada langsung dapat menghemat anggaran Rp 50 trilun hingga Rp 70 trilun. Badan Pengkajian dan pengembangan Teknologi (BPPT) menyebutkan e-voting bisa menghemat anggaran Pilkada hingga 50 persen. Kemdagri menyebut Pilkada serentak dapat menghemat anggaran hingga 50 persen. Pilkada oleh DPRD mungkin lebih efisien dari segi pembiayaan, namun hal itu tidak sepadan karena harus mengorbankan kedaulatan rakyat.
"
Pilkada langsung disebut melahirkan ketidakpatuhan koordinasi antara bupati/wali kota dan gubernur. Ini juga yang sering dipakai para penentang pilkada langsung. Padahal problem koordinasi tidak akan langsung hilang gara-gara pilkada menjadi wewenang DPRD. Yang harus diperbaiki adalah sistem ketatanegaraan, dengan mengatur secara proporsional wewenang antara pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian dilakukan penguatan fungsi koordinasi antara gubernur dan bupati/wali kota," papar Arif.
Hal terakhir yang disanggah Arif adalah masalah pilkada langsung tak sesuai demokrasi Pancasila, yang mengamanatkan demokrasi perwakilan. Menurutnya, titik tekan demokrasi Pancasila adalah keterlibatan (partisipasi) dan permusyawaratan (deliberasi). Semakin luas partisipasi, semakin sehat demokrasi. Smakin berkualitas permusyawaratan rakyat, semakin sehat demokrasi. Keduanya mungkin terwujud hanya ketika prosesnya dipandu oleh hikmat kebijaksanaan. DPR/DPRD sendiri merupakan representasi demokrasi perwakilan.
"Substansi demokrasi bukanlah pada perwakilannya, melainkan pada permusyawaratan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan," tutup Arif.
Sumber: Suara Pembaruan