Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto mengatakan Presiden Jokowi semestinya tidak berada dalam posisi dilematis untuk menentukan komposisi kabinet. Berbeda ketika periode pertama pemerintahan. “Tapi sekarang terlihat lebih dilema dari sebelumnya,” kata pria yang akrab dipanggil Cak Nanto dalam diskusi Forum Jurnalis Merah Putih bertajuk “Jokowi di Pusaran Kepentingan: Minta Ini Minta Itu” di Jakarta, Selasa (8/10/2019).
Mengacu hasil Pemilu Legislasit (Pileg) 2019, Cak Nanto menyatakan, kekuatan pendukung Jokowi-Ma'ruf mencapai 60% di parlemen. Artinya, tambahan asupan energi politik sejatinya tidak lagi dibutuhkan.
“Kalau periode pertama kan masih agak kurang dukungannya, sehingga mengambil partai yang tidak mendukung. Mestinya saat ini Pak Jokowi percaya diri saja menentukan kabinet,” ucap Cak Nanto.
Direktur Indostrategi, Arif Nurul Imam Wacana mengatakan komposisi kabinet 55% dari profesional dan 45% kader partai politik (parpol) sangat realistis. Sesuai dengan harapan sebagian besar rakyat Indonesia.
“Wacana dari Presiden terpilih Jokowi bahwa kabinet nanti 55% profesional dan 45% kader partai, saya kira itu harapan rakyat. Kalau benar, maka realistis dan banyak yang mendukung,” kata Arif.
Arif juga menjabarkan tiga metode penyusunan kabinet. Pertama, berbasis meritokrasi atau orang yang dipilih benar-benar profesional, kompeten, dan berintegritas. Kedua, berbasis konsesi bersama antarpartai koalisi. Misalnya, partai A mendapatkan dua kursi, partai B tiga kursi dan seterusnya. “Metode ketiga yaitu kombinasi antara meritokrasi dan konsesi,” ungkap Arif.
Menurut Arif, publik sepatutnya mendorong Jokowi agar mewujudkan kabinet profesional. Meski begitu, lanjut Arif, bukan berarti partai pendukung Jokowi dan Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin terabaikan.
Sebab, Arif menyatakan, tidak ada politik tanpa kepentingan. “Jadi ketika ada kepentingan politik dalam menyusun kabinet, itu alamiah. Partai memberikan dukungan tidak gratisan. Ada kompensasi yang harus didapat,” ujar Arif.
Pada kesempatan yang sama, Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kapitra Ampera menegaskan, dukungan terhadap pasangan Jokowi-Ma'ruf di luar koalisi pasti dengan syarat. “Koalisi tanpa syarat itu bohong. Koalisi itu pasti minta bagi-bagi kekuasaan,” kata Kapitra.
Kapitra menuturkan, politik memerlukan kekuasaan yang bertujuan mengangkat citra partai atau figur tertentu. Apabila partai atau tokoh tidak dikenal, maka sulit meneruskan estafet kepemimpinan ke depan. Ditambah sebagian besar pemilih Indonesia, memilih berdasarkan popularitas.
“Paling diincar itu posisi menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara), karena bisa untuk menunjang operasional parpol,” ucap Kapitra.
Menurut Kapitra, masyarakat tentu menginginkan adanya partai oposisi di parlemen. Dengan demikian, terjadi check and balances antara eksekutif dan legislatif. “Masyarakat tidak ingin ada kompromi. Jalan satu-satunya, partai yang oposisi kembali ke tempat sebagai oposisi konstruktif. Partai yang serakah, bangun dong supaya jadi kuat. Demokrasi mati tanpa oposisi,” tegas Kapitra.
Sumber: Suara Pembaruan