Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Sebaiknya Digabung
Jakarta, Beritasatu.com - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus menyampaikan, salah satu tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi adalah masih adanya egosektoral dan kurangnya koordinasi antar kementerian. Karenanya, ia sepaka bila nantinya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian disatukan menjadi satu kementerian agar koordinasi antara kedua bidang yang sangat berkaitan ini bisa menjadi lebih baik.
“Kalau satu menteri, harapannya antara bidang perdagangan dan perindustrian tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. Misalnya saja dalam perjanjian perdagangan, menterinya juga akan melihat kondisi industri di dalam negeri, apakah industri terkait sudah siap diikutsertkan dalam perjanjian internasional atau bagaimana. Namun, kalau memang akan tetap dipisah, koordinasi harus lebih baik dan tidak boleh lagi ada egosektoral,” kata Ahmad Heri Firdaus kepada Beritasatu.com, akhir pekan lalu.
Senada dengannya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menyatakan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan sebaiknya digabung. Alasannya, kedua bidang itu ibarat dua sisi mata uang: setiap produk kebijakan dari perindustrian atau perdagangan akan saling memengaruhi.
"Saat ini sedang terjadi deindustrialisasi meski dalam skala ringan. Manufaktur bisa berguguran karena potensi ekspor yang menurun karena kecenderungan konflik dagang internasional, sementara pasar domestik bertumbuh lamban dan didominasi produk impor," katanya.
Selain itu, diperlukan sinkronisasi perizinan dan peraturan di kedua kementerian untuk mempermudah masuknya investor baru dan juga memperlancar usaha investor yang sudah ada.
Ekonom dari Universitas Surakarta Agus Trihatmoko juga sepakat dengan penggabungan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Hanya saja, direktorat jenderal di kementerian baru, tetap dipisah.
"Perindustrian dan perdagangan dalam satu kesatuan akan lebih efektif dalam hal pengendalian ekspor dan impor, serta menjaga stabilitas kuantitas dan harga komoditas hasil produksi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dalam menciptakan keseimbangan pasokan dan permintaan," katanya.
Pengamat ekonomi dari The Habibie Center, Umar Juoro menyatakan Kementerian Perindustrian bisa digabung dengan Kementerian Perdagangan agar lebih sinergis untuk mengembangkan industri yang kompetitif dan berorientasi ekspor.
Pandangan yang berbeda disampaikan peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. Menurutnya, kedua kementerian itu tetap haris dipisah karena memiliki tugas yang sama-sama penting dan membutuhkan fokus.
"Kedua kementerian ini dahulu memang pernah menjadi satu, tetapi menurut saya tidak mudah untuk menggabungkannya lagi, karena membutuhkan waktu lama untuk sinkronisasi. Masalah industri dan perdagangan itu cukup pelik dan butuh fokus. Keduanya masih memiliki tugas berat yang harus diselesaikan,” katanya.
Persoalan yang harus diselesaikan Kementerian Perindustrian adalah deindustrialisasi dini yang sudah mulai terlihat. Meski porsi dari industri terhadap produk domestik bruto (PDB) masih besar, tetapi trennya terus menurun. Kondisi itu diperparah dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor industi ke jasa, serta tantangan lain terkait revolusi industri 4.0.
Kementerian Perdagangan juga memiliki pekerjaan yang tidak kalah berat, mengingat kondisi ekonomi global yang belum menentu dan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. "Daya saing produk ekspor utama kita juga relatif lebih rendah dibandingkan Vietnam," katanya.
Kementerian Investasi
Lebih jauh, Ahmad Heri Firdaus menyatakan sepakat dengan wacana menambah portofolio perdagangan internasional ke Kementerian Luar Negeri. Penggabungan tersebut akan membuat peran duta besar lebih dioptimalkan dan lebih berorientasi pada peningkatan kinerja perdagangan, serta menjalankan fungsi sebagai market intelligence untuk mengidentifikasi kebutuhan produk, identifikasi selera konsumen di negara tujuan, hambatan perdagangan, hingga jaringan distribusi di negara tujuan ekspor.
Namun, terkait wacana pembentukan kementerian baru, yakni Kementerian Investasi, dia melihat hal itu tidak perlu lantaran peran dari kementerian tersebut sebetulnya sudah dimiliki Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). "Ke depan tinggal mengoptimalkan peran BKPM untuk meningkatkan investasi," katanya.
Umar Juoro juga menyatakan Kementerian Investasi tidak diperlukan karena hanya menambah birokrasi.
Sebaliknya, Yusuf Rendy Manilet sepakat apabila dibentuk Kementerian Investasi untuk menggenjot performa investasi. “Apabila melihat dinamika yang terjadi saat ini, memang perlu banyak terobosan untuk menggaet investasi. Pembentukan kementerian baru ini lebih urgen," katanya.
Demikian juga dengan, Danang Girindrawardana yang menyatakan BKPM yang ada saat ini perlu ditingkatkan menjadi Kementerian Investasi. "Kewenangan BKPM harus ditingkatkan, bukan underbow kementerian, sehingga proses reformasi birokrasi dalam perizinan investasi bisa lebih lugas dilakukan," katanya.
Ketika ditanya wacana pembentukan Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif, Ahmad Heri menyatakan dengan tren pertumbuhan ekonomi digital yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir, bidang ini perlu mendapat perhatian pemerintah. “Kalau memang nantinya Bekraf akan menjadi Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif, ini tidak masalah. Tinggal nanti kementerian tersebut juga harus intens berkoordinasi dengan Kemkominfo, karena tentu pembentukan kementerian baru ini akan menimbukan tantangan baru,” ujarnya.
Bagi Rendy, yang perlu disoroti terkait wacana pembentukan Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif, adalah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementerian tersebut. “Kalau tupoksi yang dikerjakan kementerian baru ini berbeda dengan yang selama ini sudah dilakukan Bekraf, ya oke-oke saja. Namun kalau mirip, saya rasa perlu dipertimbangkan ulang karena ini juga menyangkut masalah efisiensi,” ujarnya.
Namun, Danang Girindrawardana menyatakan sebaiknya Bekraf tetap dipertahankan dan tidak ada urgensi membentuk kementerian baru, karena adanya kewenangan tambahan akan menimbulkan regulasi-regulasi baru. "Membuat kementerian digital akan sia-sia karena pada kenyataannya zaman menuntut semua prosedur menjadi layanan digital. Digitalisasi adalah keniscayaan, jadi tidak perlu lembaga mengatur lagi. Cukup dengan perpres yang akan dipatuhi oleh semua lembaga negara," katanya.
Dari sisi ekonomi kreatif, lanjutnya, hal-hal yang sudah dilakukan Bekraf--meskipun belum memuaskan--masih bisa ditingkatkan lagi, sehingga benar-benar membangun ekosistem kreatif di kalangan wiraswasta muda. "Jadi, Bekraf itu malah minim inovasi layanan dan dorongan riil pada sektor-sektor yang menunjang industri wisata atau industri budaya. Kinerjanya yang harus dipacu, bukan kelembagaannya yang di-upgrade, supaya tidak makin banyak overlap dengan tupoksi kementerian lain," tegasnya.
Agus Trihatmoko berpandangan pembentukan Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif berpotensi menambah kerumitan pengaturan ekonomi, bahkan Badan Ekonomi Kreatif yang telah ada pun harus ditinjau ulang. "Jika dipahami secara saksama, pemanfaatan dan peran teknologi digital dalam pembangunan ekonomi hanyalah alat yang mengubah perilaku pasar pemasok dan konsumen," katanya.
Untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kempupera), menurut Ahmad Heri, bisa saja dipisahkan apabila ada tujuan khusus yang ingin dicapai pemerintah terkait pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat.
Danang Girindrawardana menyatakan perumahan rakyat pasti harus terintegrasi dengan infrastruktur publik yang menjadi domain Kementerian Pekerjaan Umum. "Dualisme kewenangan tidak terjadi di sini, meskipun saya lihat target infrastruktur bisa dikatakan tercapai dan target perumahan belum maksimal," ujarnya.
Senada dengannya, Agus Trihatmoko menyatakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat hendaknya dipertahankan seperti saat ini. "Jika dipisahkan akan menambah beban APBN," katanya.
Keberadaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), kata Ahmad Heri, sebaiknya tetap seperti saat ini dan tidak perlu digabung dengan urusan transmigrasi. Urusan transmigrasi sudah sesuai apabila digabung dengan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. “Transmigrasi ini kan dari kota ke desa. Kalau menurut saya, sudah ideal dengan penggabungan yang sekarang ini yaitu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kementerian Desa ini tentunya lebih paham mengenai daerah-daerah tujuan transmigrasi dan bagaimana mengembangakannya,” ujarnya.
Pendapat yang sama disampaikan Danang Girindrawardana. Menurutnya, Kemnaker tetap harus terpisah dengan transmigrasi. Kemnaker harus fokus pada tupoksinya dan memiliki tantangan terbesar, yakni mempersiapkan tenaga kerja siap dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Kemnaker juga perlu membereskan masalah Balai Latihan Kerja (BLk) yang tersebar di berbagai wilayah dalam mempersiapkan tenaga kerja terlatih sesuai kebutuhan industri.
"Meskipun sudah dilahirkan kebijakan super deduction tax pada industri yang menyediakan program pelatihan atau pemagangan kepada fresh graduate, tetapi ini tidak akan cukup menampung semua lulusan SMA, SMK, atau S-1. Saya kira perlu banyak terobosan inovatif agar BLK bisa diformat sedemikian rupa sehingga mampu menjadi inkubator wirausaha secara masif," katanya.
Bidang transmigrasi, lanjutnya, tetap menjadi urusan Kementerian Desa dan bisa diberi target lebih tinggi lagi untuk menggalakkan sektor pertanian dan perkebunan. Hambatan utama saat ini adalah tidak ada kebijakan dari pemerintah pusat dan upaya masif terkait pemanfaatan lahan telantar, lahan gambut, dan lahan pesisir pantai. "Kita terlalu lama berada dalam ketakutan ancaman UU 41/1999 tentang Kehutanan," tegasnya.
Saat ditanya tentang keberadaan Kementerian Pariwisata, Danang menyatakan Kementerian Pariwisata tetap dipertahankan seperti sekarang dan tidak perlu ditambah dengan urusan kebudayaan. "Kebudayaan itu bukan semata-mata produk untuk pariwisata, tetapi kebudayaan adalah bagian penting dari integrasi bangsa. Kalau kebudayaan kita lemah, potensi disintegrasi bangsa bisa terjadi, karena sangat mudah disusupi oleh budaya-budaya luar yang tak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia. Maka, biarlah Kebudayaan menjadi bagian dari Kementerian Pendidikan," ujarnya.
Sebaliknya, Agus Trihatmoko berpandangan Kementerian Pariwisata akan efektif jika digabung dengan kebudayaan, karena tren dan peluang pariwisata Indonesia terkait dengan unsur-unsur budaya daerah.
Reformasi Kebijakan Ekonomi
Wakil Ketua Umum Kadin bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani menyatakan pelaku usaha sangat membutuhkan reformasi kebijakan ekonomi yang substansial, komprehensif, konsisten, dan pelaksanaannya cepat. Hal ini mendesak dan Indonesia tidak bisa membuang-buang waktu dengan melakukan trial and error. Sejauh ini belum ada kajian tentang manfaat, dampak ekonomi, maupun dampak sistemik, terhadap pelaku usaha dan iklim usaha nasional dalam jangka pendek maupun jangka panjang, apabila dilakukan perubahan nomenklatur.
Ia pun mengaku belum ada diskusi substantif dengan para pemangku kepentingan, khususnya pelaku usaha. "Yang kami tahu ketidakpastiannya jika diubah akan tinggi bagi pelaku usaha di lapangan dan biaya di sisi pemerintah juga akan tinggi setidaknya dalam jangka pendek," tegasnya.
Perubahan nomenklatur kementerian, lanjut Shinta, belum tentu akan secara substansial dan cepat bisa mendukung percepatan pelaksanaan reformasi kebijakan ekonomi nasional yang sangat dibutuhkan pelaku usaha di lapangan. "Kami ingin presiden memastikan dahulu bahwa peleburan (kementerian, Red) betul-betul secara substansial dan cepat mengubah atau memecah masalah kurangnya koordinasi dan egosektoral antarkementerian untuk mempercepat pelaksanaan reformasi kebijakan ekonomi nasional. Kalau tidak, ini hanya trial and error yang mahal bagi negara dan pelaku usaha, serta kontraproduktif terhadap kebutuhan ketahanan ekonomi nasional dalam jangka pendek," tegasnya.
Dari pengalaman sebelumnya, perubahan nonmenklatur kementerian membutuhkan waktu satu tahun sampai dua tahun agar bisa berjalan efektif. Dengan keadaan perekonomian global yang diprediksi mengalami resesi, Indonesia perlu bergerak cepat dalam mengambil peluang dan berkompetisi dengan negara lain, tetapi harus bisa beroperasi dengan efisien.
Sumber: Suara Pembaruan
Saksikan live streaming program-program BTV di sini