Jakarta, Beritasatu.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat telah terjadi sedikitnya 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran bakal pasangan calon Pilkada 2020. Namun demikian, tidak ada sanksi atau penegakan hukum berarti yang bisa dilakukan sebagai efek jera.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menjelaskan, tidak adanya sanksi atau penegakkan hukum terjadi karena di dalam pelaksanaan Pilkada 2020, Indonesia masih mengadopsi aturan lama yang berlaku di masa normal.
"Hal itu disebabkan karena instrumen hukum Pilkada yang ada saat ini masih bersandar pada aturan main lama yang didesain sebagai kerangka hukum penyelenggaraan pilkada di situasi normal," kata Titi Anggraini, di Jakarta, Senin (21/9/2020).
Menurutnya, di dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2020, Indonesia memang belum memiliki kerangka hukum yang didesain khusus untuk merespon situasi pandemi seperti yang saat ini dihadapi.
Titi mengingatkan, berdasarkan pertimbangan tersebut dan melihat perkembangan penyelenggaraan pilkada di daerah-daerah, maka sebaiknya KPU, Pemerintah, dan DPR, dapat menunda pelaksanaan Pilkada 2020 di seluruh wilayah.
"Penundaan pilkada di seluruh wilayah sampai jumlah kasus positif Covid-19 melandai atau berkurang signifikan secara konsisten. Atau setidaknya ditunda sampai pertengahan 2021," ujarnya.
Hal ini bertujuan agar semua pihak serius, bersungguh-sungguh, dan berupaya optimal dalam mengendalikan dan mengatasi penyebaran Covid-19 di masyarakat. Di samping itu sekaligus untuk terus membangun kesadaran dan disiplin masyarakat pada protokol kesehatan penanganan Covid-19.
Menurut Titi, di masa penundaan pilkada, pembuat UU diharapkan menyiapkan instrumen hukum setingkat undang-undang yang memuat ketentuan yang jelas dan memadai bagi penyelenggaraan pilkada dengan protokol kesehatan.
Revisi atas Undang-Undang Pemilihan yang ada (UU Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana sudah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 10 Tahun 2016) mendesak untuk dilakukan.
"Revisi UU Pemilihan diperlukan guna mengakomodir sejumlah inovasi teknis pemilihan yang kompatibel dengan kondisi pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi," ujarnya.
Termasuk pula pengaturan sanksi yang memberi efek jera bagi pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam proses pemilihan.
Menurutnya, sanksi administratif bisa dibuat secara bertahap. Mulai dari pencabutan hak untuk berkampanye bagi peserta yang kampanyenya melanggar protokol kesehatan, lalu bila terjadi pelanggaran berulang maka bisa diikuti dengan sanksi diskualifikasi.
"Sanksi ini bisa direkomendasikan Bawaslu dengan mempertimbangkan pendapat pakar dari Satgas maupun pakar kesehatan yang bisa melihat dampak bahaya dari pelanggaran tersebut," kata Titi.
Di sisi lain, aparat keamanan juga wajib menindak tegas aktor-aktor politik yang dengan sengaja membuat kerumunan dan mengumpulkan massa dengan mengabaikan protokol kesehatan. Semua dilakukan agar menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak soal urgensi protokol kesehatan untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid-19
Sumber: BeritaSatu.com