Jakarta, Beritasatu.com - Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA Adjie Alfaraby menilai penanganan Covid pada umumnya tidak mempengaruhi elektabilitas para gubernur untuk Capres. Alasannya, hingga saat ini tidak ada wilayah yang keberhasilan penanganan Covid-19 terlihat begitu menonjol.
“Semua wilayah mengalami pasang-surut kasus,” kata Adjie di Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Ia melihat memang ada catatan tersendiri buat DKI. Di awal pandemi, Anies mendapat kredit khusus karena mengambil sejumlah kebijakan populis. Saat itu publik memang lebih risau soal ancaman kesehatan dari pandemi Covid. Anies punya sentimen saat itu, bahkan lebih dulu kebijakannya dibanding pusat.
Namun di Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap kedua, meski kebijakan Anies dibenarkan dari pertimbangan kesehatan, namun atmosfer publiknya sudah berubah. Mayoritas publik lebih takut ancaman ekonomi rumah tangganya yang mulai tergerus karena Covid-19.
“Kebijakan Anies periode kedua memang tak membuat sentimen negatif yang signifikan terhadap Anies, namun juga tak punya dampak positif buat Anies,” jelas Adjie.
Dia melihat peluang dari empat gubernur dicalonkan bukan hanya tergantung pada posisi mereka sebagai kader partai atau bukan. Faktor pamor dan elektabilitas mereka menjelang pilpres nanti juga akan menjadi penentu. Jika elektabilitas mereka bagus, maka partai politik akan melirik. Karena partai juga punya kepentingan tokoh yang menjadi Capres menjadi magnet elektoral terhadap partainya
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengemukakan penangananan Covid-19 di masing-masing wilayah mempengaruhi popularitas Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan Khofifah Indar Parawansa. Pasalnya, penanganan Covid menjadi isu utama setahun terakhir dan daerah Jawa tempat persebaran paling banyak. Pemilih di Jawa juga paling banyak sehingga menjadi sorotan media maupun publik secara nasional.
“Umumnya persepsi publik terhadap para gubernur itu di daerah masing-masing kan cenderung positif. Keempatnya juga sudah lama masuk dalam daftar kandidat potensial untuk Pilpres 2024,“ kata Djayadi.
Ia melihat dari empat nama itu, saat ini belum ada nama yang dominan karena Pilpres masih jauh, masih empat tahun lagi. Semuanya masih punya peluang yang kurang lebih sama. Siapa yang paling dilirik partai, bergantung elektabilitas masing-masing dan negosiasi politik menjelang Pilpres.
“Mungkin petanya mulai cukup terlihat tahun 2023, setahun menjelang pilpres,” tegas Djayadi.
Dia melihat yang namanya petahana apalagi yang potensial menjadi Capres dan Cawapres, sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar pasti kinerjanya dinilai secara politik, baik oleh publik, oleh para pendukung, maupun para penentangnya. Kinerja selama 2020 pasti juga dinilai berdasarkan kemampuan menangani Covid-19.
“Jadi suka atau tidak suka, Covid 19 juga menjadi panggung politik,” ujar Djayadi.
Sumber: BeritaSatu.com