Jakarta, Beritasatu.com – Instruksi menteri dalam negeri (mendagri) terkait pemberhentian kepala daerah bersifat mengingatkan tentang adanya peraturan perundang-undangan terkait pelaksanaan protokol kesehatan yang harus dipatuhi para kepala daerah. Peringatan itu termasuk di dalamnya soal kepala daerah yang bisa diberhentikan jika melanggar peraturan perundang-undangan tersebut.
“Instruksi itu untuk mengingatkan bahwa kepala daerah bisa diberhentikan. Tetapi, tentu saja pemberhentian itu ada mekanisme dan prosesnya, bukan secara tiba-tiba,” ujar Staf Khusus Mendagri, Kastorius Sinaga kepada Beritasatu.com di Jakarta, Kamis (19/11/2020).
Seperti diketahui, pada Rabu (18/11/2020), Mendagri Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Instruksi itu ditujukan kepada para gubernur, bupati, dan wali kota terkait adanya beberapa kerumunan yang terjadi belakangan ini.
Paragraf pertama instruksi itu menyebutkan, “Menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia pada rapat terbatas kabinet hari Senin, tanggal 16 November 2020 di Istana Merdeka Jakarta, yang di antaranya menegaskan konsistensi kepatuhan protokol kesehatan Covid-19 dan mengutamakan keselamatan rakyat”.
Kemudian, Mendagri Tito mengatakan, berbagai langkah telah dilakukan secara sistematis dan masif dengan mengeluarkan biaya yang besar, termasuk dari pajak rakyat. Oleh karena itu, kata Tito, kepala daerah juga perlu menghargai kerja keras dan dedikasi bahkan nyawa para pejuang yang telah gugur, terutama para dokter, perawat, tenaga medis lainnya, anggota TNI/Polri, dan relawan serta berbagai elemen masyarakat.
Menurut Tito, perlu langkah-langkah cepat, tepat, fokus, terpadu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyikapi kebijakan yang telah terbit untuk mencegah penyebaran Covid-19 di daerah. Ia mengatakan pemerintah telah menerbitkan serangkaian peraturan untuk pencegahan penyebaran Covid-19.
Kemudian, dalam instruksinya, Mendagri mengingatkan bahwa sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) ada kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah jika melanggar peraturan perundang-undangan tersebut, termasuk sanksi pemberhentian.
Terkait ini, Kastorius Sinaga mengatakan, banyak pihak yang tidak membaca utuh instruksi itu sehingga ditafsirkan seolah-olah mendagri bisa langsung memberhentikan kepala daerah. Menurut Kastorius, instruksi itu untuk mengingatkan adanya berbagai peraturan terkait penanganan Covid-19 yang harus dipatuhi para kepala daerah.
Peraturan yang dimaksud adalah UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Selain itu, ada juga Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Covid-19, dan Peraturan Mendagri Nomor 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemda.
“Bahkan, masing-masing pemerintah daerah memiliki peraturan daerah dan keputusan kepala daerah terkait dengan penanganan dan pengendalian pandemi Covid-19,” ujar Kastorius. Dia mencontohkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1100 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif, yang di dalamnya melarang kerumunan.
Kastorius lalu menjelaskan, jika kepala daerah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan itu, maka mendagri langsung memberikan teguran. Hal ini sudah dilakukan saat proses pendaftaran calon kepala daerah untuk Pilkada 2020, di mana beberapa calon petahana dianggap melakukan pelanggaran protokol kesehatan.
“Saat pendaftaran pilkada September lalu, ada 83 kepala daerah yang juga calon petahana mendapat teguran karena melanggar protokol kesehatan. Jika dua kali teguran tidak diindahkan, maka mendagri bisa memberhentikan kepala daerah,” ujar Kastorius.
Hal ini sesuai dengan Pasal 68 UU Pemda. Ayat 1 pasal itu mengatakan, kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh menteri untuk gubernur dan/atau wakilnya, serta oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk bupati dan wali kota serta wakilnya.
Lalu, pada Ayat 2 disebutkan, menyebutkan, dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 telah disampaikan dua kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama tiga bulan.
Setelah itu, pada Ayat 3 disebutkan, dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara dan tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, maka yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
“Dalam hal ini, untuk kepala daerah yang diberhentikan, proses dan pelaksanaannya diatur pada pada Pasal 80 dan 81 UU Pemda,” ujar Kastorius.
Yang jelas, ujarnya, instruksi yang dikeluarkan Mendagri Tito Karnavian itu sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomo 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Pada PP itu disebutkan bahwa mendagri memiliki fungsi dan kewenangan membina serta mengawasi kepala daerah.
Sumber: BeritaSatu.com