Jakarta, Beritasatu.com - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Djarot Saiful Hidayat menyebut calon Wali Kota Surabaya Machfud Arifin (MA) kurang begitu paham pemerintahan yang baik. Djarot juga menyebut MA memakai strategi memecah belah. Termasuk mendekati Seno, anak almarhum Sutjipto, mantan Sekjen DPP PDIP.
Djarot mengatakan partainya terus menyatu dengan seluruh elemen masyarakat Surabaya untuk memenangkan calon wali kota yang diusing partainya yakni Eri Cahyadi. Persatuan ini guna memastikan satunya arah kemajuan Surabaya sejak dipimpin Wali Kota Bambang DH dan dilanjutkan Tri Rismaharini-Wisnu.
Sebab Eri mampu menunjukkan semua kualitas itu dalam debat kandidat Pilwalkot Surabaya 2020.
“Debat tadi malam menunjukkan kualifikasi kepemimpinan Eri-Armudji, berhadapan dengan Machfud Arifin yang lebih mengedepankan retorika, namun tidak memahami persoalan tata kota, investasi dan juga manajemen pemerintahan yang baik," ujar Djarot, mantan walikota Blitar, wakil gubernur dan Gubernur DKI Jakarta, dalam keterangannya, Kamis (19/11/2020).
"MA telah melakukan politik devide et impera ala kolonialisme Belanda. Politik pecah belah selama masa kolonial selalu dilawan oleh seluruh anak bangsa, termasuk NU, Muhammadiyah, dan PNI saat itu," kata Djarot.
Dia melanjutkan, sebenarnya kurang elok kalau tim MA selalu menjalankan politik adu domba, termasuk melalui apa yang dilakukan oleh Mat Mochtar, juga dikenal juga sebagai kader PDIP. Sebab itu cara kolonial yang ditentang arek-arek Surabaya.
Kata Djarot, DPP PDIP telah memecat Mat Mochtar karena perilakunya yang tidak terpuji.
“Mat Mochtar telah dipecat. Kalau mengaku anggota Partai harus memiliki kesadaran berorganisasi. Eri Cahyadi-Armudji adalah calon PDI Perjuangan. Saya tahu persis bagaimana sebelum mengambil keputusan Ibu Megawati melakukan kontemplasi. Bahkan saat itu, agar keputusan benar-benar sesuai harapan rakyat Surabaya, sebulan sebelum Eri-Armudji diumumkan, Ibu Mega tidak mau terima tamu, termasuk Bu Risma," beber Djarot.
"Dengan demikian keputusan benar-benar jernih, tulus, untuk masa depan Kota Surabaya. Eri diputuskan sebagai calon karena kepemimpinannya. Eri adalah sosok muda, berprestasi di Surabaya. Dan sebagai seorang insinyur, mampu membuat perencanaan dan desain kemajuan bagi Surabaya untuk Indonesia dan dunia," tambahnya.
Atas dasar hal tersebut, Djarot meyakini bahwa justru ketika Eri-Armudji dikepung, dan lawan memiliki begitu banyak logistik dan dana, Surabaya justru semakin bersatu memberi dukungannya.
“Eri semakin kuat justru karena gemblengan dan kepungan. Apa yang terjadi justru membuktikan bagaimana masyarakat Surabaya memiliki keberanian untuk memilih pemimpin muda yang jujur, berpengalaman, dan visioner," ulas Djarot.
"Jadi ketika Surabaya dikepung, seperti halnya ketika Sekutu mengepung Surabaya, perlawanan rakyat untuk mendukung pemimpin yang baik akan semakin kuat," pungkas Djarot.
Sumber: BeritaSatu.com