Jakarta, Beritasatu.com - Peneliti Teknologi Kepemiluan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia Salabi, mengatakan, pihaknya menemukan sembilan risiko penggunaan kampanye daring pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.
"Pertama, maraknya hoax, berita palsu, dan disinformasi. Materi sengaja dibuat-buat dan disamarkan sebagai kebenaran. Tujuannya untuk menurunkan integritas dan kredibilitas lawan,” kata Nurul Amalia Salabi dalam acara "Refleksi 2020 Teropong 2021: Pelaksanaan Demokrasi di Tengah Pandemi dan Arah Demokrasi ke Depan” di Jakarta, Minggu (10/1/2020).
Wanita yang kerap disapa Amel ini menjelaskan, masalah kedua adalah mis-informasi atau informasi keliru yang dimaksudkan untuk menyesatkan. Ketiga, perilaku nonautentik terkoordinasi (coordinated inauthentic behavior).
"Dalam kategori ini, sejumlah akun terkoordinasi mencoba menyesatkan pengguna platform melalui penyebaran konten dengan menggunakan metode klikbait maupun dengan bantuan buzzer," jelasnya.
Keempat, lanjut Amel, kampanye hitam terkoordinasi yang bertujuan untuk merusak reputasi lawan/oposisi menggunakan tuduhan palsu, isu yang belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan dengan kinerja dan profesionalitasnya sebagai kandidat.
Kelima, penggunaan bot algoritma dan otomatisasi atau sistem yang mensimulasikan manusia untuk mengarahkan topik yang sedang tren atau mendorong topik isu tertentu agar populer bahkan memanipulasi opini publik terhadap isu atau topik tertentu.
"Keenam, penggunaan influencers maupun buzzer yang mendorong topik atau isu tertentu agar menjadi informasi yang viral atau diperbincangkan,” ujar Amel.
Temuan ketujuh adalah aliran dana kampanye yang tidak transparan, khususnya terkait dengan belanja iklan di media sosial yang memungkinkan penargetan mikro (micro-targeting) dan melalui micro-targeting ini pemilih berpotensi menerima informasi yang bias.
Kedelapan, promosi 'atmosfer polarisasi' yang mendorong politik identitas. Atmosfer polarisasi atau munculnya dua kutub ekstrem yang berseberangan pada dasarnya menjadi konsekuensi atas berbagai risiko sebelumnya.
Kesembilan, penggunaan akun palsu/anonim untuk melakukan berbagai mobilisasi isu dan topik. Penggunaan akun palsu atau anonim menjadikan pelacakan terhadap hoax dan berita palsu menjadi sulit dan makin kompleks.
"Temuan-temuan ini sangat berbahaya bagi demokrasi. Temuan ini diharapkan menjadi pemantik untuk pengaturan media sosial, terutama yang digunakan pada saat kampanye,” tutup Amel.
Sumber: BeritaSatu.com