Jakarta, Beritasatu.com - Resesi ekonomi dunia akan mengancam perekonomian Indonesia, khususnya di level usha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pasalnya, hingga kini belum ada kebijakan pemerintah yang bisa memproteksi masyarakat miskin. Justru, fakta yang terjadi subsidi sektor energi sebesar Rp 12 triliun dicabut.
"Banyak UMKM bergantung pada subsidi BBM dan elpiji, terutama yang ukuran 3 kg. Kalau dilihat dari kondisi ekonomi global yang akan resesi ekonomi, maka pemerintah akan mengorbankan UMKM kita," ujar ekonomi Indeh, Bhima Yudistira dalam diskusi Forum Tebet (Forte) di Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Bhima memberi gambaran, pada krisis 1998, UMKM masih memakai kayu bakar sebagai alternatif untuk tetap menjalankan usaha secara sustainable. Kemudian, semua UMKM beralih memakai elpiji, khususnya yang 3 kg. Lalu, setelah beralih ke elpiji 3 kg, maka ketergantungan terhadap subsidi juga besar.
Bhima mengatakan, jika subsidi ini juga dicabut, maka kondisi ekonomi di masyarakat bawah akan bahaya. Terlebih lagi, tarif dasar listrik bagi pengguna 900 VA dan iuran BPJS Kesehatan juga mengalami kenaikan. "Pemerintah seharusnya berempati kepada UMKM. APBN tak dipersiapkan untuk menghadapi resesi ekonomi dunia," jelasnya.
Bagi Bhima, pernyataan bahwa daya beli masyarakat masih kuat juga tidak tepat. "Kuat bagaimana? Semua naik, iuran BPJS Kesehatan, dan tarif tol adjustment. Listrik 900 Kwh mau dipangkas juga. Jadi, kebijakan ekonomi pemerintah tak punya empati," tegasnya.
Menurut Bhima, APBN yang disusun bukan menjadi stimulus ekonomi, melainkan justru menjadi konstraksi pada 2020. Ia juga tak sepakat dengan pernyataan bahwa masyarakat tak usah khawatir terhadap resesi ekonomi dunia, karena kalau PHK bisa menjadi pedagang daring, pengemudi ojek online, dan sebagainya.
"Padahal, ecommerce itu modalnya sebagian besar disuntik dari modal asing. Modal asing itu sangat mempertimbangkan gejolak ekonomi global," ujarnya. Kalau terjadi resesi ekonomi, kata Bhima, maka pemodal itu bakal pergi dan menyelamatkan diri ke rumah masing-masing.
"Mereka bisa pergi kalau resesi. Ibaratnya, kalau rumahnya kebakaran, apakah tak menyelamatkan rumahnya dulu. Begitu juga soal ancaman resesi ini," kata Bhima.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Data Indonesia, Herry Gunawan menyoroti perekonomian Indonesia yang masih rapuh dan daya beli masyarakat sangat lemah. "Kinerja penerimaan negara pada 2019 mengkhawatirkan, karena realisasinya lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya," ujar Herry.
Herry membeberkan, sepanjang Januari hingga Agustus, penerimaan negara dan hibah baru mencapai 55% atau turun dibandingkan penerimaan pada periode yang sama tahun lalu, yang mencapai 61%. "Dalam kondisi tersebut, defisit anggaran hingga akhir 2019 kemungkinan mencapai Rp 305 triliun," jelasnya.
Akibat kondisi ini, lanjut Herry, pemerintah berpeluang untuk semakin rajin mencari utang yang lebih besar untuk menutup defisit anggaran. "Utang selalu menjadi solusi. Padahal, saat ini, risikonya semakin tinggi," ujarnya.
Herry mengibaratkan, ekonomi Indonesia saat ini seperti tubuh manusia yang kondisinya sedang meriang. Seluruh persendian terasa nyeri. "Namun, obat generik yang diberikan masih sama," ujar Herry.
Sumber: Suara Pembaruan