Jakarta, Beritasatu.com - Industri alas kaki atau sepatu merupakan salah satu sektor yang terdampak cukup besar dengan adanya pandemi Covid-19. Akibat permintaan yang menurun, banyak pabrik yang menghentikan proses produksi, hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau merumahkan karyawannya.
Baca Juga: Dunia Usaha Butuh Stimulus Modal Kerja
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko menyampaikan, pandemi Covid-19 ini telah memukul sekitar 500.000 pekerja di industri sepatu. Mayoritasnya dirumahkan atau kontrak kerjanya tidak diperpanjang karena perusahaan mengalami kesulitan cashflow.
"Selain industri tekstil yang sudah PHK sekitar 1,7 karyawan, di industri sepatu juga ada sekitar 500.000. Tetapi istilah PHK juga kurang tepat, karena pabrik-pabrik ini sebetulnya lebih banyak kontrak kerja. Jadi ada yang kontrak kerjanya dimajukan, ada juga yang tidak diteruskan,” kata Eddy Widjanarko dalam acara seminar online 'Industri Alas Kaki Masuk Era New Normal' yang digelar Aprisindo melalui webinar, Jumat (3/7/2020).
Eddy menyampaikan, adanya kebijakan untuk menerapkan protokol kesehatan di lingkungan pabrik dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19 membuat beban keuangan yang harus ditanggung semakin besar. Sehingga akhirnya banyak pabrik yang memutuskan untuk melakukan PHK karena sebelumnya memang sudah mengalami kesulitan cashflow.
Baca Juga: Ekspor Industri Pengolahan Naik 7%
"Untuk menerapkan protokol kesehatan ini sangat-sangat sulit. Prosedurnya panjang, contohnya kita masuk di dalam pabrik itu harus ada satu ruangan untuk disinfektan, kemudian kita juga harus menyiapkan masker sebanyak 1 lusin satu orang untuk satu bulan, belum lagi ada hand sanitizer dan suplemen vitamin C dan susu. Kemudian ada beberapa daerah yang mengharuskan rapid test, ini biayanya besar sekali. Sehingga, sekarang ini untuk brand-brand lokal lebih banyak PHK dan tutup pabrik,” kata Eddy.
Tantangan Ekspor
Untuk ekspor produk alas kaki dari Indonesia, Eddy mengatakan, pada tahun ini sebetulnya terjadi peningkatan. Hingga Mei 2020, kenaikannya sekitar 8 persen. Namun, ekspor yang meningkat tersebut merupakan pesanan atau order yang sudah datang sebelum adanya pandemi Covid-19, sehingga memang harus dipenuhi di tengah berbagai pembatasan.
Baca Juga: Kadin Catat 6 Juta Pekerja Dirumahkan
"Kalau ekspor naik, kenapa ada PHK? Sebab 33 perusahaan yang memproduksi sepatu brand besar seperti Nike, Adidas dan Reebok menguasai 88 persen dari total ekspor kita, sedangkan yang 270 pabrik lebih banyak menguasai market lokal, hanya sebagian kecil untuk ekpor," papar Eddy.
Menurut Eddy, tantangan dalam meningkatkan kinerja ekspor ke depannya juga dinilai lebih berat. Ini menyusul ditandatanganinya kesepakatan Free Trade Agreement (FTA) antara Vietnam dan Uni Eropa.
"Yang menjadi kendala besar untuk ekspor brand besar, tanggal 8 Juni lalu sudah disetujui oleh Vietnam dan Uni Eropa untuk bisa meratifikasi kebijakan FTA. Apabila nantinya ini dimulai enam bulan dari sekarang, atau ada yang mengatakan empat bulan, harga ekspor dari kita dengan Vietnam perbedaannya bisa 9 persen sampai 14 persen. Artinya dari Eropa membeli sepatu dari Indonesia dikenakan bea masuk, sementara kalau dari Vietnam bea masuknya nol persen,” papar Eddy.
Sumber: BeritaSatu.com