Jakarta, Beritasatu.com - Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengungkapkan, Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang merupakan salah satu strategi menciptakan peluang kerja di sektor industri harus dibarengi dengan peningkatan keterampilan dan keahlian angkatan kerja.
Pasalnya, selain masalah perizinan dan berbagai hambatan regulasi, rendahnya keterampilan angkatan kerja Indonesia juga kerap menjadi keluhan para investor.
"UU Cipta Kerja sebagai upaya memecahkan persoalan investor terkait dengan keluhan perizinan, hambatan regulasi, pengadaan tanah dan lain-lain. Satu lagi keluhan investor yang perlu menjadi perhatian dan perlu dicairkan solusinya adala rendahnya keterampilan angkatan kerja Indonesia. Perlu ada strategi untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian angkatan kerja dan pekerja muda atau milenial melalui pelatihan vokasi bersertifikasi keahlian atau kompetensi,” kata Tadjuddin dalam acara webinar Strategi Ketenagakerjaan Menghadapi Bonus Demografi dan Perkembangan Industri, Sabtu (28/11/2020).
Tadjuddin mengungkapkan, dari sisi struktur penduduk usia 15-65 tahun, Indonesia sebetulnya lebih unggul dibandingkan negara tetangga di Asean. Begitu juga dengan jumlah penduduk. "Jumlah angkatan kerja Indonesia yang produktif cukup besar. Sedangkan Malaysia dan Thailand mulai mengalami penurunan. Tiga sampai empat tahun ke depan, mereka akan kekurangan pasokan tenaga kerja,” papar Tadjudin.
Keunggulan tersebut harusnya bisa dimanfaatkan untuk memajukan ekonomi Indonesia. Namun, Tadjuddin melihat belum ada strategi yang tepat untuk dapat mengoptimalkan potensi besarnya jumlah angkatan kerja tersebut.
"Di suatu negara, bonus demografi itu hanya terjadi satu kali, tidak akan terulang. Jadi kalau kita melewatkan situasi yang sangat menguntungkan ini, kita akan kehilangan peluang, dan negara kita tidak akan pernah mengalami seperti yang dialami negara-negara maju,” kata Tadjuddin.
Karenanya, menurut Tadjudin, perlu ada transformasi struktur sektoral angkatan kerja, serta peningkatan keterampilan dan keahlian angkatan kerja dan pekerja muda melalui pelatihan dan pemberian sertifikasi.
Menurut Tadjuddin, training atau pelatihan angkatan kerja muda sangat diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja, sedangkan retraining pekerja diperlukan agar dapat menyesuaikan keterampilan dan keahlian dengan perubahan teknologi. Kemudian reskilling atau upskilling melatih pekerja agar dapat meningkatkan keterampilan dan keahlian untuk memenuhi tuntutan perkembangan teknologi.
Tadjudin memberi contoh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di bidang teknologi informasi (TI). Ada beberapa sektor yang mengalami kekosongan tenaga kerja Indonesia atau jumlahnya sangat minim, misalnya saja analisis sistem, pengembang perangkat lunak, pengembang web dan multimedia, pemrogram aplikasi, dan sebagainya.
"Justru kebanyakan tenaga kerja Indonesia hanya melakukan tugas entry data. Kalau ini tidak bisa kita isi segera, kita akan ketinggalan. Sebab industri-industri ini semuanya akan menggunakan IT sebagai dasar pekerjaan mereka,” kata Tadjuddin.
Struktur Tenaga Kerja
Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Aloysius Budi Santoso menambahkan, berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) 2019, daya saing Indonesia berada di peringkat 50 dari 141 negara di dunia. Posisi Indonesia ini masih di bawah Singapura, Thailand dan Malaysia.
"Kalau kita soroti di dalamnya, peringkat fleksibilitas pasar kerja kita juga masih cukup challenging. Misalnya biaya PHK, hak-hak pekerja, fleksibilitas upah, serta hubungan pekerja dan pengusaha. Ini menunjukkan bahwa sistem ketenagakerjaan kita relating masih cukup rigid," kata Budi.
Terkait level pendidikan tenaga kerja Indonesia, dari sekitar 129 juta pekerja produktif, mayoritasnya adalah lulusan SD, SMP dan SMA. "Pendidikan SD dan SMP-nya 47 persen, SMK dan SMA 28 persen, dan seterusnya. Ini menunjukkan betapa menantangnya struktur tenaga kerja kita berbasiskan pendidikan orang-orang yang ada dalam pasar tenaga kerja,” kata Budi.
Kemudian dari jumlah pekerja tersebut, hanya 3 persen pekerja Indonesia yang bekerja di perusahaan besar. Bila digabungkan dengan pekerja di perusahaan sektor menengah hanya 6 persen saja. Sementara, sisanya bekerja di sektor usaha mikro dan kecil.
"Pasar tenaga kerja sebetulnya adalah muara dari infrastruktur pendidikan. Jadi sebetulnya kalau ingin membenahi pasar ketenagakerjaan, harus dari muaranya yaitu sistem pendidikan,” tegas Budi.
Sumber: BeritaSatu.com